Pertanyaan 1: Di manakah lokasi papan iklan berikut ini?

Tidak ada hadiah. Kecuali jika saya berubah pikiran, atau isi kantong bertambah.

Mari kita jujur! Bahasa Indonesia, siapa (berani) hirau?

Ayo... Siapa?

Papan iklan tersebut sudah beberapa kali berusaha saya abadikan. Takut masa beriklannya habis, papan ini turun tanpa ada yang perhatian. Namun tidak ada kamera yang siap sedia di tangan, malas berhenti merogoh isi tas yang penuh sesak untuk menggapai ponsel berkamera. Karenanya kesempatan berlalu begitu saja. Hingga akhirnya, saya benar-benar niatkan untuk memotretnya saat lari pagi.

Serbuan bahasa Inggris, terutama, yang masuk melalui bidang teknologi, ekonomi, dan politik, tampaknya membuat bahasa Indonesia makin terpinggir. Lihat saja TV yang menjadi pengisi waktu luang banyak orang. Nama acara TV menggunakan bahasa Inggris, liga olahraga negeri sendiri juga harus menggunakan bahasa Inggris, bahkan nama makanan lokal pada menu-menu restoran kini mulai menggunakan bahasa Inggris. Belum lagi di pusat-pusat perbelanjaan! Bahkan papan informasinya pun bukan dalam bahasa Indonesia. Untunglah, beberapa peralatan elektronik yang kubeli kini menyertakan panduan dalam bahasa Indonesia.

Lalu, beberapa pekan setelah penetapan anggota legislatif terpilih, sebuah suratkabar menyoroti kemampuan para anggota DPR baru yang terbatas dalam berbagai fungsi DPR, seperti menyusun anggaran dan undang-undang. Bagaimana nasib undang-undang kita jika para penyusunnya tidak mahir berbahasa Indonesia? Bisa salah tafsir di mana-mana. Atau justru itu yang dituju? Agar undang-undang dapat ditafsirkan bermacam-macam dan memberi celah?

Pertanyaan 2: Apa itu "petahana"? Sebuah kata yang mulai menggantikan istilah kesukaan sebelumnya, "berjalin kelindan".

Ternyata menyenangkan, merasakan bahwa koran-koran utama tampak turut memikul beban bahasa Indonesia. Ini membuat saya lebih sering membaca koran mencari padanan kata-kata asing dalam bahasa Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa padanan kata untuk istilah-istilah tertentu mulai menempel dalam ingatan.

Jadi, mari kita jujur! Siapa berani hirau bahasa Indonesia? Jangan-jangan justru negeri tetangga kita yang mengangkat tangan, mengakuinya.